Siap Dampingi Warga Tuntut Kejelasan Program PTSL
satuwarta.id – Program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap), sebagaimana yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2018 dan didukung dengan keputusan 3 menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri ATR/KBPN, dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal bertujuan untuk memudahkan masyarakat untuk mendapatkan sertifikat tanah secara gratis.
Direncanakan berlangsung hingga tahun 2025, PTSL juga untuk menghindari sengketa tanah serta perselisihan di kemudian hari.
Dalam aturannya, biaya setiap pemohon tidak boleh lebih dari Rp 150 ribu yang diperuntukan untuk pengadaan 3 patok, 1 materai, dan biaya operasional (penggandaan, angkutan, pemasangan patok dan transportasi). Tapi apabila masih dirasakan ada kekurangan patok dikarenakan luas tanah yang memerlukan patok lebih dari 3, atau materai yang memerlukan lebih dari 1, maka penambahan tersebut dipenuhi oleh pengusul sebagaimana barang yang dibutuhkan, bukan berupa uang.
Di desa Ngadipiro, Kecamatan Wilangan Kabupaten Nganjuk yang terjadi, panitia disebut telah menarik biaya PTSL sebesar Rp 500 ribu perbidang. Padahal data di BPN nganjuk untuk tahun 2022 Desa Ngadipiro, belum masuk sebagai desa penerima program PTSL.
Terkait hal itu, Praktisi hukum Prayogo Laksono menyarankan masyarakat yang sudah terlanjur membayar untuk segera meminta kejelasan kapan sertifikat yang sudah dijanjikan pihak panitia PTSL keluar.
” Kita siap mendampingi siapa saja warga masyarakat yang di rugikan dalam pengurusan program ptsl di desa ngadipiro, ” tegas Prayogo lagi.
Prayogo menjelaskan, penarikan biaya kepada warga atas program kegiatan yang belum jelas sama artinya telah melakukan kegiatan penarikan uang untuk program bodong, hal ini masuk dalam kategori dugaan penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
” Menipu disini adalah membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang. Sementara yang terjadi di Desa ngadipiro yang diduga desanya belum masuk dalam program PTSL tapi telah ada penarikan uang, maka panitia telah membujuk dengan memakai Karangan perkataan bohong, ” jelas Prayogo.
Masih lanjut Prayogo, yang dimaksud dari karangan perkataan bohong adalah, seseorang yang mengatakan seolah olah ada program kegiatan yang memerlukan biaya, dan pembiayaannya meminta kepada pihak lain, tapi hal itu, sesungguhnya kegiatan tersebut belum ada.
“Orang yang melakukan atau yang menyuruh adanya rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun,” tandas Prayogo. sac/by